Dari baju hitam
yang ia kenakan, tercium bau menyengat yang amat sangat. Seperti bau rendaman
baju ku yang direndam selama 3 hari saja. Berbaju
hitam, mengenakan topi mirip koboi, laki-laki itu masuk tanpa seizinku. Sebenarnya
tidak aku suruh dia masuk, tapi digubrisnya perintahku itu. Aku teringat bahwa
benda itu adalah kantong uang yang ia letakkan seminggu
lalu. Dua menit kemudian dia pergi dengan sepeda ontel tuanya yang berwarna
biru dan sudah sezaman tidak pernah dicuci. Sama dengan tubuhnya yang hanya
tersentuh air apabila tidurnya diganggu ‘mimpi’. Katanya itu seni. “Oh begitu!” Sinisku kalau dia
berbicara tentang seninya itu.
Segelas kopi yang baru selesai aku buat masih ada di depan televisi. Di atas sebuah meja yang ditumpangi selampir kain. Belum
kuhirup sama sekali, karena masih panas. Sebenarnya baunya
sudah memancing kedua indra untuk menyeruputnya. Tapi biarlah,
kesabaran mungkin yang harus dibahas dari segelas kopi panas itu.
Aku
kepikiran dengan orang berbaju hitam si anak seni itu. Namanya Totok. Totok
Seno Kumilat, lengkapnya. Hampir dua semester aku berkawan dengan anak sinting itu. Dari
namanya saja terdengar sangat aneh— dan memang seiring sejalan saja dengan kesehariannya.
Selama
aku berkelana dengan si tengil Totok,
belum aku ketahui apa makna dari
‘anugerah’ orang tuanya itu. Setiap aku bertanya langsung dengannya, selalu saja dia menjawab bahwa nama itu melekat karena karakter seseorang. “Karekter saya kan aneh, maka nama saya juga harus aneh. Supaya seimbang dengan tingkah laku kehidupan sehari-hari.” Ketus Totok seperti biasa kalau diajak serius. Dan seperti biasa juga, aku mengutip, “filosofimu aneh sekali, Tok!”
‘anugerah’ orang tuanya itu. Setiap aku bertanya langsung dengannya, selalu saja dia menjawab bahwa nama itu melekat karena karakter seseorang. “Karekter saya kan aneh, maka nama saya juga harus aneh. Supaya seimbang dengan tingkah laku kehidupan sehari-hari.” Ketus Totok seperti biasa kalau diajak serius. Dan seperti biasa juga, aku mengutip, “filosofimu aneh sekali, Tok!”
***
“Kamu
mandi berapa kali, Tok, sehari?” Tanyaku ketika pertama kali aku mencium aroma
tubuh Totok yang begitu khas itu.
“Hah?
Sehari?”
“Iya,
sehari!”
“Kamu
itu tidak kenal seni ya, Din? Suatu saat nanti akan kuajarkan kau tentang seni,
agar kau lebih menikmati hidup.” Jawabnya dengan lantang. “Lagi pula mandi itu tidak wajib kan?” tambahnya.
Hatiku menjawab tidak kalah lantangnya. “Terimakasih banyak Tok, sepertinya cukup
kamu saja berprilaku seperti itu di muka bumi ini”.
***
Setiap
hari Minggu, kami ke pasar. Dengan
ontel Totok, tentunya.
Dan aku
dibonceng di belakang, duduk di atas
sepotong besi yang bundar, tanpa dudukan ditengahnya. Sakit memang. Tapi, tak
apalah. Sedang Totok, bersikayuh dengan harapan akan rezeki yang menanti.
Selalu ia yang di depan, sebab hanya ia yang kenal apa maunya si ontel. Aku
pernah coba sekali, tapi, seperti kuda yang enggan dipacu, si ontel malah
mempermalukanku. Ia lepas rantainya tepat ketika kami akan melintasi rel kereta
api. Padahal, klakson kereta terdengar begitu semakin dekat. Untung ada si
totok, si empunya ontel. Ia bersigap, melompat dan melarikan si ontel dari rel
kereta. Meski akhirnya, kami —bersama-sama si ontel— harus merasakan pahitnya
air got. Ah, ontel si Totok ini benar-benar
membuatku kapok. Ia hanya sayang totok seorang. Tidak yang lain. Tidak pula
aku.
Jadwal
rutin aku dengan Totok setiap Minggu pergi ke pasar. Dengan berboncengan
menggunakan sepeda ontel kebanggannya itu.
Mencoba meraup rezeki. Dari bus
kota, pinggirin lampu merah, pasar, taman dan tempat keramaian-keramaian lainnya kami berdua mencoba
mengais rezeki. Bahkan tidak
jarang kami beroperasi di rumah
makan, namun tidak jarang pula kami harus menerima usiran oleh pak satpam.
Begitu
cara kami untuk mengenyam pendidikan di kota ini. Hidup di kota memang sangatlah kejam.
Apabila tidak demikian entah apa kuliah kami dapat lanjut sampai saat sekarang ini. Sementara orang tuaku di kampung hanyalah petani karet dan ayah Totok
katanya berjualan
sayur. Biaya bulanan hanya
cukup untuk biaya kami kuliah saja. Untuk makan, kami harus mulai mencari
sendiri sejak pertengahan awal kuliah. Perjuangan itu berlanjut sampai
sekarang.
“Sebenarnya
cita-cita kamu jadi apa sih Din,?” tanya Totok kepadaku.
“Saya
ingin jadi jurnalis”
“Aneh
kamu, kamu kan saat
ini jurusan ekonomi?”
“Loh
emang gak boleh apa?” aku agak sedikit terkejut mendengar
komentar Totok mengenai cita-citaku. “Kamu itu yang aneh, penampilan kok kayak
gitu.”
“Aku cuma heran saja. Ya sudah terserah kamu lah”
***
Totok
acapkali bertingkah aneh. Dulu, awal-awal kami bertemu, aku kira dia ‘gila’. Tapi, nyatanya dugaku itu merupakan
kesalahan besar. Ia bukan ‘gila’. Ia hanya begitu hebat
untukku. Sohibku itu benar-benar lelaki misterius berjiwa sosial tinggi. Hampir
selalu, setiap pagi, sebelum ke pasar, Ia membersihakan got disepanjang tempat
tinggal kami. Dia tak peduli orang lain akan bepikir apa. Dia senang dan dia
melakukan semuanya. Itu saja. Meski jarang
mandi, ia tak suka dengan orang yang suka buang sampah sembarangan. Jika ada
yang melanggar, habislah waktu untuk ia berceramah. Totok. Sohibku itu.
Benar-benar lelaki ‘gila’, rupanya.
“Tok, sini
biar aku cuci’in sepeda antikmu itu. Sayangkan
sepeda keren-keren tidak dirawat”.
“Enak
saja bilang tidak pernah dirawat. Justru kalau dicuci dia akan kesakitan.
Kasihan kan catnya nanti tergores. Cat ini tidak ada di jual
lagi di bengkel sepeda Seluruh Indonesia”.
Segitunya si Totok cinta terhadap sepedanya. Saya tidak habis
pikir, bagaimana mungkin sepeda bisa merasa kesakitan hanya dengan dicuci.
Memang sih mungkin sepeda seperti itu hanya milik dia dan tidak tahu berapa
orang lain di Indonesia yang memiliki sepeda antik seperti itu. Mungkin wajar
bila Totok sangat mencintai sepedannya itu.
Jendela kamar Totok terbuat dari papan yang sudah
rapuh dimakani Rayap. Kuncinya sekarang hanya menggunakan paku yang bawahnya di
lubangi sebagai penyangga. Kadang jika ada angin kencang dan hujan badai
jendela tersebut terbuka dengan paksa dan tak jarang juga kasur yang sudah
banyak dipenuhi ‘peta’ yang terbuat dari ilernya
itu basah. Kalau sudah begitu terpaksa aku harus berbagi dengan sobatku itu untuk tidur seranjang dengannya. Di tambah
lagi kebiasaan yang unik itu, ‘bersiul’ sambil tidur. Membuat aku semakin tidak bisa menutup
kelopak mataku kalau sempat aku tidur dengannya.
Malam
berganti malam, hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tahun berganti
tahun. Telah aku habiskan sebagian masa hidupku dengan si seniman aneh itu. Kami mengukir asa dengan sejengkal pengetahuan
yang masih dangkal. Kami terus berlari mengejar bus kota setiap pagi minggu.
Untuk menenteng gitar dan menakukan kantong plastik yang lecek kepada semua
penikmat jasa bus kota di pagi hari. Lumayan, hasil dari jerih payah memetik
gitar dan menyumbangkan suara yang tidak fals
itu bisa kami jadikan untuk menyambung hidup di kota yang kejam ini.
Menjelang
sang surya bekerja paruh waktu kami pulang untuk shalat dan istirahat siang.
Sore hari sampai menjelang sang surya berhenti dengan kewajiban rutinnya kami
pergi kepantai belakang kos. Di sana
kami biasa menolong para nelayan untuk menepikan perahunya apabila pulang dari
melaut. Kadang kalau hasil tangkapan para nelayan banyak, kami bisa memasak pindang
ala Totok. Meski sudah mendapat resep dari ibunya dikampung lewat obrolan
jarak jauh via hand phone, tetap saja
rasanya seperti nano-nano. Namun
apabila hasil tangkapan sedikit kami tetap bisa
mendapatkan kepuasan dengan melihat kekuasaan sang pencipta diwaktu senja.
Langit berubah menjadi merah lalu bola raksasa seperti api itu berpamitan
seraya berucap, ” tugasku hari ini sudah
selesai, aku mau istirahat dulu”. Ombak laut di kala senja hanya terpaksa
menerjang karang. Menikmati panorama diwaktu senja sambil mendengarkan ole-ole
pak nelayan dari melaut tadi dapat melipat gandakan semangat untuk esok. Sampai
panggilan rutin tiba kami menikmati panaroma itu.
***
Aku duduk sendiri di batu karang yang beberapa tahun silam menjadi saksi
keakrabanku dengan Totok. Aku menikmati air laut yang tak tenang sendiri. Aku menyaksikan para nelayan tersenyum ketika
bertemu dengan keluarga yang menanti dimulut pantai juga sendiri. Totok pergi.
Dan masa berkreatifitasnya sudah usai.
Aku tahu Totok pergi. Dia pergi dimana setiap insan menuju itu. Disadari atau
pura-pura tidak menyadarinya. Yang jelas Totok telah mengajariku untuk bermakna
menjadi seorang insan.
Dan pada akhirnya sebuah ontel tua
itu masih terpajang diteras belakang rumah kontrakanku.Ontel yang setia
menemani perjuanganku mencari rezeki dulu— tentunya bersama empuhnya, Totok.
0 komentar:
Posting Komentar