Biru mempunyai makna yang dalam. Meskipun tak sedalam lautan India. Bagiku sendiri, dalamnya biru itu bisa diukur dari setiap jejak-jejak yang aku ukir selama bernafas. Jauhnya jejakku pun tidak dapat diukur. Hanya waktu yang bisa menghentikan jejakku itu.

  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube

You need to upgrade your Flash Player to version 10 or newer.

Kisah dari Totok dan Ontel


Dari baju hitam yang ia kenakan, tercium bau menyengat yang amat sangat. Seperti bau rendaman baju ku yang direndam selama 3 hari saja. Berbaju hitam, mengenakan topi mirip koboi, laki-laki itu masuk tanpa seizinku. Sebenarnya tidak aku suruh dia masuk, tapi digubrisnya perintahku itu. Aku teringat bahwa benda itu adalah kantong uang yang ia letakkan seminggu lalu. Dua menit kemudian dia pergi dengan sepeda ontel tuanya yang berwarna biru dan sudah sezaman tidak pernah dicuci. Sama dengan tubuhnya yang hanya tersentuh air apabila tidurnya diganggu mimpi. Katanya itu seni. “Oh begitu!” Sinisku kalau dia berbicara tentang seninya itu.
            Segelas kopi yang baru selesai aku buat masih ada di depan televisi. Di atas sebuah meja yang ditumpangi selampir kain. Belum kuhirup sama sekali, karena masih panas. Sebenarnya baunya sudah memancing kedua indra untuk menyeruputnya. Tapi biarlah, kesabaran mungkin yang harus dibahas dari segelas kopi panas itu.
Aku kepikiran dengan orang berbaju hitam si anak seni itu. Namanya Totok. Totok Seno Kumilat, lengkapnya. Hampir dua semester aku berkawan dengan anak sinting itu. Dari namanya saja terdengar sangat aneh— dan memang seiring sejalan saja dengan kesehariannya.
Selama aku berkelana dengan si tengil Totok, belum aku ketahui apa makna dari
anugerah’ orang tuanya itu. Setiap aku bertanya langsung dengannya, selalu saja dia menjawab bahwa nama itu melekat karena karakter seseorang. “Karekter saya kan aneh, maka nama saya juga harus aneh. Supaya seimbang dengan tingkah laku kehidupan sehari-hari.” Ketus Totok seperti biasa kalau diajak serius. Dan seperti biasa juga, aku mengutip, “filosofimu aneh sekali, Tok!”

***
“Kamu mandi berapa kali, Tok, sehari?” Tanyaku ketika pertama kali aku mencium aroma tubuh Totok yang begitu khas itu.
“Hah? Sehari?”
“Iya, sehari!”
“Kamu itu tidak kenal seni ya, Din? Suatu saat nanti akan kuajarkan kau tentang seni, agar kau lebih menikmati hidup.” Jawabnya dengan lantang. “Lagi pula mandi itu tidak wajib kan?” tambahnya.
Hatiku  menjawab tidak kalah lantangnya. “Terimakasih banyak Tok, sepertinya cukup kamu saja berprilaku seperti itu di muka bumi ini”.
***
Setiap hari Minggu, kami ke pasar. Dengan ontel Totok, tentunya. Dan aku dibonceng di belakang, duduk di atas sepotong besi yang bundar, tanpa dudukan ditengahnya. Sakit memang. Tapi, tak apalah. Sedang Totok, bersikayuh dengan harapan akan rezeki yang menanti. Selalu ia yang di depan, sebab hanya ia yang kenal apa maunya si ontel. Aku pernah coba sekali, tapi, seperti kuda yang enggan dipacu, si ontel malah mempermalukanku. Ia lepas rantainya tepat ketika kami akan melintasi rel kereta api. Padahal, klakson kereta terdengar begitu semakin dekat. Untung ada si totok, si empunya ontel. Ia bersigap, melompat dan melarikan si ontel dari rel kereta. Meski akhirnya, kami —bersama-sama si ontel— harus merasakan pahitnya air got. Ah, ontel si Totok ini benar-benar membuatku kapok. Ia hanya sayang totok seorang. Tidak yang lain. Tidak pula aku.
Jadwal rutin aku dengan Totok setiap Minggu pergi ke pasar. Dengan berboncengan menggunakan sepeda ontel kebanggannya itu. Mencoba meraup rezeki. Dari bus kota, pinggirin lampu merah, pasar, taman dan tempat keramaian-keramaian lainnya kami berdua mencoba mengais rezeki. Bahkan tidak jarang kami beroperasi di rumah makan, namun tidak jarang pula kami harus menerima usiran oleh pak satpam.
Begitu cara kami untuk mengenyam pendidikan di kota ini. Hidup di kota memang sangatlah kejam. Apabila tidak demikian entah apa kuliah kami dapat lanjut sampai saat sekarang ini. Sementara orang tuaku di kampung hanyalah petani karet dan ayah Totok katanya berjualan sayur. Biaya bulanan hanya cukup untuk biaya kami kuliah saja. Untuk makan, kami harus mulai mencari sendiri sejak pertengahan awal kuliah. Perjuangan itu berlanjut sampai sekarang.
“Sebenarnya cita-cita kamu jadi apa sih Din,?” tanya Totok kepadaku.
“Saya ingin jadi jurnalis”
“Aneh kamu, kamu kan saat ini jurusan ekonomi?
“Loh emang gak boleh apa?” aku agak sedikit terkejut mendengar komentar Totok mengenai cita-citaku. “Kamu itu yang aneh, penampilan kok kayak gitu.
Aku cuma heran saja. Ya sudah terserah kamu lah

***
Totok acapkali bertingkah aneh. Dulu, awal-awal kami bertemu, aku kira dia gila. Tapi, nyatanya dugaku itu merupakan kesalahan besar. Ia bukan gila. Ia hanya begitu hebat untukku. Sohibku itu benar-benar lelaki misterius berjiwa sosial tinggi. Hampir selalu, setiap pagi, sebelum ke pasar, Ia membersihakan got disepanjang tempat tinggal kami. Dia tak peduli orang lain akan bepikir apa. Dia senang dan dia melakukan semuanya. Itu saja. Meski jarang mandi, ia tak suka dengan orang yang suka buang sampah sembarangan. Jika ada yang melanggar, habislah waktu untuk ia berceramah. Totok. Sohibku itu. Benar-benar lelaki ‘gila’, rupanya.
 “Tok, sini biar aku cuci’in sepeda antikmu itu. Sayangkan sepeda keren-keren tidak dirawat”.
“Enak saja bilang tidak pernah dirawat. Justru kalau dicuci dia akan kesakitan. Kasihan kan catnya nanti tergores. Cat ini tidak ada di jual lagi di bengkel sepeda Seluruh Indonesia”.
Segitunya si Totok cinta terhadap sepedanya. Saya tidak habis pikir, bagaimana mungkin sepeda bisa merasa kesakitan hanya dengan dicuci. Memang sih mungkin sepeda seperti itu hanya milik dia dan tidak tahu berapa orang lain di Indonesia yang memiliki sepeda antik seperti itu. Mungkin wajar bila Totok sangat mencintai sepedannya itu.
            Jendela kamar Totok terbuat dari papan yang sudah rapuh dimakani Rayap. Kuncinya sekarang hanya menggunakan paku yang bawahnya di lubangi sebagai penyangga. Kadang jika ada angin kencang dan hujan badai jendela tersebut terbuka dengan paksa dan tak jarang juga kasur yang sudah banyak dipenuhi peta yang terbuat dari ilernya itu basah. Kalau sudah begitu terpaksa aku harus berbagi dengan sobatku itu untuk tidur seranjang dengannya. Di tambah lagi kebiasaan yang unik itu, bersiul sambil tidur. Membuat aku semakin tidak bisa menutup kelopak mataku kalau sempat aku tidur dengannya.
Malam berganti malam, hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun. Telah aku habiskan sebagian masa hidupku dengan si seniman aneh itu. Kami mengukir asa dengan sejengkal pengetahuan yang masih dangkal. Kami terus berlari mengejar bus kota setiap pagi minggu. Untuk menenteng gitar dan menakukan kantong plastik yang lecek kepada semua penikmat jasa bus kota di pagi hari. Lumayan, hasil dari jerih payah memetik gitar dan menyumbangkan suara yang tidak fals itu bisa kami jadikan untuk menyambung hidup di kota yang kejam ini.
Menjelang sang surya bekerja paruh waktu kami pulang untuk shalat dan istirahat siang. Sore hari sampai menjelang sang surya berhenti dengan kewajiban rutinnya kami pergi kepantai belakang kos. Di sana kami biasa menolong para nelayan untuk menepikan perahunya apabila pulang dari melaut. Kadang kalau hasil tangkapan para nelayan banyak, kami bisa memasak pindang ala Totok. Meski sudah mendapat resep dari ibunya dikampung lewat obrolan jarak jauh via hand phone, tetap saja rasanya seperti nano-nano. Namun apabila hasil tangkapan sedikit kami tetap bisa mendapatkan kepuasan dengan melihat kekuasaan sang pencipta diwaktu senja. Langit berubah menjadi merah lalu bola raksasa seperti api itu berpamitan seraya berucap, ” tugasku hari ini sudah selesai, aku mau istirahat dulu”. Ombak laut di kala senja hanya terpaksa menerjang karang. Menikmati panorama diwaktu senja sambil mendengarkan ole-ole pak nelayan dari melaut tadi dapat melipat gandakan semangat untuk esok. Sampai panggilan rutin tiba kami menikmati panaroma itu.

***
Aku duduk sendiri di batu karang yang beberapa tahun silam menjadi saksi keakrabanku dengan Totok. Aku menikmati air laut yang tak tenang sendiri. Aku menyaksikan para nelayan tersenyum ketika bertemu dengan keluarga yang menanti dimulut pantai juga sendiri. Totok pergi. Dan  masa berkreatifitasnya sudah usai. Aku tahu Totok pergi. Dia pergi dimana setiap insan menuju itu. Disadari atau pura-pura tidak menyadarinya. Yang jelas Totok telah mengajariku untuk bermakna menjadi seorang insan.
            Dan pada akhirnya sebuah ontel tua itu masih terpajang diteras belakang rumah kontrakanku.Ontel yang setia menemani perjuanganku mencari rezeki dulu— tentunya bersama empuhnya, Totok.

0 komentar:

Posting Komentar