Biru mempunyai makna yang dalam. Meskipun tak sedalam lautan India. Bagiku sendiri, dalamnya biru itu bisa diukur dari setiap jejak-jejak yang aku ukir selama bernafas. Jauhnya jejakku pun tidak dapat diukur. Hanya waktu yang bisa menghentikan jejakku itu.

  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube

You need to upgrade your Flash Player to version 10 or newer.

Munjung


Suatu kesadaran yang tumbuh dan diyakini masyarakat secara kolektif dan terus-menerus hidup di dalam kultur masyarakat tersebut. Kemudian secara vertikal menjadi bagian yang tidak terpisahkan antara masyarakat terhadap kesadaran itu sendiri, hal demikian ini disebut sebagai tradisi. Tentu, konsep semacam itu sangat banyak berkembang di dalam masyarakat. Baik itu berbentuk lelaku, keyakinan, pandangan-pandangan, gagasan, dan pola-pola interaksi di dalam masyarakat.
Lalu, apakah bentuk kesadaran seperti itu masih ada di tengah serbuan modernisasi yang kurang dicermati secara arif oleh generasi terkini ? Dimana segala sesuatu diukur dengan statistik, pertimbagan material. Pertanyaan ini, barangkali terlalu gegabah untuk diungkapkan. Tetapi, bagi saya pribadi ini cukup menggelisahkan. Karena secara sadar, saya tumbuh di tengah-tengah masyarakat yang boleh jadi masih memiliki tradisi-tradisi yang sampai hari ini masih tumbuh. Namun, perlahan tradisi-tradisi yang dimaksud mulai tersingkirkan. Dalam pada ini, kegalauan saya barangkali tidak dapat ditebus dengan apapun, kecuali menyikapinya dengan mempersiapkan diri untuk berhadapan dengan realitas modernisasi.
***

Saya ingin bercerita tentang kehidupan masyarakat di kampung saya, yang sampai saat ini masih sangat kental dengan adat leluhur mereka. Sebelum saya bercerita terlalu jauh tentang banyak hal kehidupan di kampung saya. Saya tegaskan sekali lagi, bahwa saya hanya memakai standar pemikiran melalui ocehan. Yang mana konteksnya berangkat dari pengalaman secara langsung terlibat di tengah “ruang masyarakat”. Namun, saya berupaya mengemas ini dengan suatu penerangan bagi kita untuk cerminan bersama.
***
Begini. Di wilayah saya, tepatnya di Kecamatan Babat Toman, Kabupaten Musi Banyuasin-Sumatera Selatan, di mana saya berada, dilahirkan, dan dibesarkan. Sampai saat ini, ada sebuah tradisi yang secara rutin dilakukan oleh masyarakat sekitar. Munjung, itulah namanya. Munjung merupakan kebiasaan adat yang dilakukan hanya pada saat 1 atau 2 hari menjelang hari Raya Idul Fitri. Dimana pada hari tersebut para ibu-ibu sibuk di dapur untuk memasak masakan untuk di punjung kepada keluarga, saudara, dan tetangga. Seyogyanya, masyarakat pendukung tradisi ini tidak berlaku bagi seluruh Marga. Ini hanya berlaku bagi orang rantauan dari Pulau Jawa ke Pulau Sumatera (jasume). Berlakunya tradisi ini, sudah sejak lama terpusat dan dipusatkan tidak hanya pada satu Desa, sebab banyak sekali orang Jawa yang merantau untuk mengadu nasib ke Sumatera.
Menurut masyarakat yang pernah saya tanyakan. Mengapa tradisi ini, hanya berlaku bagi orang yang keturunan jawa saja. Di karenakan leluhur yang dulunya menumbuhkan tradisi tersebut orang asli Jawa. Leluhur  ini bagi masyarakat dianggap memiliki karomah. Atas dasar inilah, mengapa prosesi Munjung hanya di berlakukan hanya bagi orang yang berketurunan jawa saja.
Nah, jika ditinjau secara etimologi maka dapat ditarik kesimpulan bahwa munjung merupakan sebuah prosesi saling memberi bersama. Dengan demikian, apakah sarana yang dijadikan untuk saling memberi. Berupa masakan. Masakan tersebut dikirim melalui rantang. Isi di dalam rantang tersebut terdapat bermacam-macam masakan. Rantang bagian atas biasanya ada gulai pindang ikan patin, lalu pada rantang tingkat selanjutnya ada acar nanas dan rantang selanjutnya sambal tempe tahu dan rantang paling bawah ada nasi. Sebagai balas budi, orang yang dapat punjung memberikan apa saja yang bisa diberi kepada pengirim di dalam rantang yang sudah kosong sebelum dikembalikan. Berselang hari berikutnya orang yang mendapat punjung tersebut bergantian munjung.
Masakan pindang ikan patin merupakan masakan khas masyarakat Palembang. Masakan yang berkuah dan yang mencirikan khas masakan ini adalah kepala ikan patin. Ikan patin adalah ikan yang hidup di sungai musi, bentuk ikan ini seperti ikan lele. Juga dengan acar, merupakan sambal nanas yang dimasak dengan pedas sehingga rasanya tidak terasa asam tapi agak pedas-pedas manis. Lalu sambal tahu tempe sendiri merupakan masakan yang paling di sukai oleh orang jawa.
Munjung fungsinya hanya terbatas pada hari H yang telah ditentukan. Karena sarana ini merupakan medium yang digunakan dalam kebiasaan masyarakat. Media yang paling utama adalah masakan, sebab masakan yang dimasak memiliki nilai-nilai yang berbau khas masyarakt sekitar. Secara menyeluruh tidak terlalu dibebankan kepada semua orang. Tapi hanya bagi masyarakat yang merasa mampu saja.
***
Seiring berkembangnya zaman dari waktu ke waktu. Prosesi munjung memang terus dilakukan di masyarakat jasume, tapi dalam beberapa tahun catatan saya. Bila diamati beberapa tahun terakhir, sepertinya kebiasaan masyarakat adat ini masih sering dilakukan pada hari H. Namun, tidak tahu untuk beberapa tahun kedepan.
Munjung sendiri sesungguhnya memiliki nilai-nilai filosofis. Rangkaian-rangkaian yang dilakukan. Mulai dari pemilihan waktu pelakasanaan yang dilakukan sebelum hari raya. Merupakan wujud rasa syukur, atas kesehatan dan rezeki yang selama ini didapat. Pembuatan masakan yang hanya mengkombinasikan masakan khas Palembang dan masakan kesukaan orang jawa sendiri. Dapat ditafsirkan bahwa masyarakat benar-benar ingin menyatukan perbedaan adat tersebut. Dengan itu juga mereka dapat mengekspresikan rasa cinta terhadap kedua adat tersebut. Bahwa segala kesatuan akan membentuk sebuah keselarasan, sebuah gagasan yang menyatukan pemikiran secara kolektif.
Jika demikian. Apakah kita masih setia dengan pemikiran yang arif dalam tradisi. Di tengah konteks kekinian yang semakin gamang ini?
Semoga cahaya selalu menyalakan jiwa kita.

1 komentar:

e_Delwiez mengatakan...

saya tahu anda bertanya pada siapa.
hehehhehe
join blog ayk, dek!

Posting Komentar