Suatu kesadaran yang tumbuh
dan diyakini masyarakat secara kolektif dan terus-menerus hidup di dalam kultur
masyarakat tersebut. Kemudian secara vertikal menjadi bagian yang tidak
terpisahkan antara masyarakat terhadap kesadaran itu sendiri, hal
demikian ini disebut sebagai tradisi. Tentu, konsep semacam itu sangat banyak
berkembang di dalam masyarakat. Baik itu berbentuk lelaku, keyakinan,
pandangan-pandangan, gagasan, dan pola-pola interaksi di dalam masyarakat.
Lalu, apakah bentuk kesadaran
seperti itu masih ada di tengah serbuan modernisasi yang kurang dicermati
secara arif oleh generasi terkini ? Dimana segala sesuatu diukur dengan
statistik, pertimbagan material. Pertanyaan ini, barangkali terlalu gegabah
untuk diungkapkan. Tetapi, bagi saya pribadi ini cukup menggelisahkan. Karena
secara sadar, saya tumbuh di tengah-tengah masyarakat yang boleh jadi masih
memiliki tradisi-tradisi yang sampai hari ini masih tumbuh. Namun, perlahan
tradisi-tradisi yang dimaksud mulai tersingkirkan. Dalam pada ini, kegalauan
saya barangkali tidak dapat ditebus dengan apapun, kecuali menyikapinya dengan
mempersiapkan diri untuk berhadapan dengan realitas modernisasi.
***
Saya ingin bercerita tentang kehidupan masyarakat di kampung saya, yang sampai
saat ini masih sangat kental dengan adat leluhur mereka. Sebelum saya bercerita terlalu jauh tentang banyak hal kehidupan di kampung saya.
Saya tegaskan sekali lagi, bahwa saya hanya memakai standar pemikiran melalui
ocehan. Yang mana konteksnya berangkat dari pengalaman secara langsung terlibat
di tengah “ruang masyarakat”. Namun, saya berupaya mengemas ini dengan suatu
penerangan bagi kita untuk cerminan bersama.
***
Begini. Di wilayah saya, tepatnya di
Kecamatan Babat Toman, Kabupaten
Musi Banyuasin-Sumatera Selatan, di mana saya berada, dilahirkan, dan
dibesarkan. Sampai saat ini, ada sebuah
tradisi yang secara rutin dilakukan oleh masyarakat sekitar. Munjung, itulah
namanya. Munjung merupakan kebiasaan adat yang dilakukan hanya pada saat 1 atau 2
hari menjelang hari Raya Idul Fitri. Dimana pada hari tersebut para ibu-ibu
sibuk di dapur untuk memasak masakan untuk di punjung kepada keluarga, saudara, dan tetangga. Seyogyanya,
masyarakat pendukung tradisi ini tidak berlaku bagi
seluruh Marga. Ini hanya berlaku bagi orang
rantauan dari Pulau Jawa ke Pulau Sumatera (jasume). Berlakunya
tradisi ini, sudah sejak lama terpusat dan dipusatkan tidak hanya pada satu Desa, sebab banyak
sekali orang Jawa yang merantau untuk mengadu nasib ke Sumatera.
Menurut masyarakat yang pernah saya
tanyakan. Mengapa tradisi ini, hanya berlaku
bagi orang yang keturunan jawa saja. Di karenakan leluhur yang dulunya
menumbuhkan tradisi tersebut orang asli
Jawa. Leluhur ini bagi masyarakat dianggap
memiliki karomah. Atas dasar inilah, mengapa prosesi Munjung hanya
di berlakukan hanya bagi orang yang berketurunan jawa saja.
Nah, jika ditinjau secara etimologi
maka dapat ditarik kesimpulan bahwa munjung merupakan sebuah prosesi saling memberi bersama.
Dengan demikian, apakah sarana yang dijadikan untuk saling memberi.
Berupa masakan. Masakan tersebut dikirim melalui rantang. Isi di dalam rantang tersebut terdapat bermacam-macam masakan. Rantang bagian atas
biasanya ada gulai pindang ikan patin,
lalu pada rantang tingkat selanjutnya ada acar
nanas dan rantang selanjutnya sambal
tempe tahu dan rantang paling bawah ada nasi.
Sebagai balas budi, orang yang dapat punjung memberikan apa saja yang bisa
diberi kepada pengirim di dalam rantang yang sudah kosong sebelum dikembalikan. Berselang hari berikutnya
orang yang mendapat punjung tersebut
bergantian munjung.
Masakan pindang ikan patin
merupakan masakan khas masyarakat Palembang. Masakan yang berkuah dan yang
mencirikan khas masakan ini adalah kepala ikan patin. Ikan patin adalah ikan
yang hidup di sungai musi, bentuk ikan ini seperti ikan lele. Juga dengan acar, merupakan sambal nanas yang
dimasak dengan pedas sehingga rasanya tidak terasa asam tapi agak pedas-pedas
manis. Lalu sambal tahu tempe sendiri merupakan masakan yang paling di sukai
oleh orang jawa.
Munjung fungsinya hanya terbatas pada hari
H yang telah ditentukan. Karena sarana ini merupakan medium yang digunakan
dalam kebiasaan masyarakat. Media yang
paling utama adalah masakan, sebab masakan yang dimasak memiliki nilai-nilai yang berbau khas masyarakt sekitar.
Secara menyeluruh tidak terlalu dibebankan kepada semua orang. Tapi hanya bagi
masyarakat yang merasa mampu saja.
***
Seiring berkembangnya zaman dari
waktu ke waktu. Prosesi munjung memang
terus dilakukan di masyarakat jasume, tapi dalam beberapa tahun catatan
saya. Bila diamati beberapa tahun
terakhir, sepertinya kebiasaan masyarakat adat ini masih sering dilakukan pada
hari H. Namun, tidak tahu untuk beberapa tahun kedepan.
Munjung sendiri sesungguhnya memiliki nilai-nilai filosofis.
Rangkaian-rangkaian yang dilakukan. Mulai dari pemilihan waktu pelakasanaan
yang dilakukan sebelum hari raya. Merupakan
wujud rasa syukur, atas kesehatan dan rezeki yang
selama ini didapat. Pembuatan masakan yang hanya mengkombinasikan masakan khas Palembang dan masakan kesukaan orang jawa sendiri. Dapat
ditafsirkan bahwa masyarakat benar-benar ingin
menyatukan perbedaan adat tersebut. Dengan itu juga mereka dapat
mengekspresikan rasa cinta terhadap kedua adat tersebut. Bahwa segala
kesatuan akan membentuk sebuah keselarasan, sebuah gagasan yang menyatukan
pemikiran secara kolektif.
Jika demikian. Apakah kita masih
setia dengan pemikiran yang arif dalam tradisi. Di tengah konteks kekinian yang
semakin gamang ini?
Semoga cahaya selalu menyalakan jiwa kita.
1 komentar:
saya tahu anda bertanya pada siapa.
hehehhehe
join blog ayk, dek!
Posting Komentar