Biru mempunyai makna yang dalam. Meskipun tak sedalam lautan India. Bagiku sendiri, dalamnya biru itu bisa diukur dari setiap jejak-jejak yang aku ukir selama bernafas. Jauhnya jejakku pun tidak dapat diukur. Hanya waktu yang bisa menghentikan jejakku itu.

  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube

You need to upgrade your Flash Player to version 10 or newer.

Wartawan Kampus


Ketika mendengar kata jurnalisme pikiran saya langsung melukiskan bermacam kisah yang unik. Unik yang tidak dapat ditemukan disembarang tempat. Dapat saya gambarkan unik tersebut kira-kira seperti angin yang membuat jatuhnya daun dari pohon. Bagaimana deskripsinya adalah bahwa angin hanya menggugurkan daun yang sudah tua dan tidak bermanfaat lagi. Angin akan membuat suatu pohon menjadi indah dilihat lagi. Jadi mungkin seperti itulah kira-kira sisi “unik” jurnalisme itu bagi saya.
Ini adalah pengakuan jujur dari seorang yang baru memasuki dunia jurnalistik, orang yang baru melihat sisi nyata kehidupan. Jurnalistik juga membuat saya selalu berfikir realistis dalam menjalani kehidupan yang ‘kejam’. Kejam dunia bisa digambar dan diceritakan dalam sebuah wadah jurnalis. Saya mungkin tak akan bisa menulis tentang sastra, saya tak akan mengerti tentang politik, saya tidak akan banyak tahu tentang koruptor, konflik dan masih banyak hal-hal absurd dunia lainnya tanpa goresan, dan goresan itu saya temui disini— jurnalis.

Awalnya saya tidak ada rasa— keinginan—  terjun kedunia jurnalistik, dan sampai saat sekarang pun saya tidak tahu darimana rasa itu muncul. Dulu ketika saya membaca beberapa media masa atau menonton berita di media elektronik saya hanya berfikir bahwa semua itu biasa saja dan sudah menjadi cerita harian, dimana cerita harian tersebut meliputi; kerusuhan, korupsi, demo, pembunuhan dan sebagainya. Namun rupannya banyak cerita dibalik fenomena tersebut. Bahwasannya tidak sedikit cerita heriok terjadi ketika seorang wartawan hendak meliput berita mengenai kerusuhan, bencana, bahkan konflik politik. Mulai dari terancamnya nyawa seorang wartawan karena adanya suatu kalangan yang merasa dipojokkan dari goresan fakta wartawan.
Hingga akhirnya pada saat sekarang ini tergabung sebagai anggota wartawan kampus. Meskipun embel-embel masih wartawan kampus, namun saya cukup bangga ketika liputan mengatungkan kartu pers di saku baju. Rasanya ada kebanggaan yang saya miliki ketika melakukan wawancara. Menjadi wartawan kampus, rupanya membuat saya menjadi lebih mensyukuri sebgai mahasiswa. Selain itu, wartwan kampus bagi saya sautu pekerjaan yang sangat mengasyikkan untuk memanfaatkan waktu luang.
Tempat itu adalah SKK Ganto. Tempat yang memberikan saya kesempatan untuk berkreativitas lewat tulisan. Tempat yang memberikan saya pelajaran tentang junia jurnalistik. Ganto merupakan surat kabar kampus yang dimiliki oleh UNP. Di sinilah semua bermula. Dan sini juga hal yang membuat saya berfikir realistis tentang kehidupan dan fenomena kehidupan.

0 komentar:

Posting Komentar